Friday, February 28, 2014

mengapa pajak dapat menciptakan keadilan sosial?

Q.

A. Pajak dipungut dari warga yang disebut Wajib Pajak. Dipungut dalam bentuk : pajak kendaraan bermotor (biaya STNK), pajak bumi & bangunan (PBB), pajak jual-beli bumi & bangunan (BPHTB), pajak jual beli barang (PPn), pajak import barang dan lainnya.
Pajak ini dikumpulkan dari "orang kaya" dan digunakan secara merata untuk kepentingan seluruh masyarakat berupa jalan, jembatan, tempat peribadatan, bangunan sosial, biaya pendidikan, kesehatan, budaya dan lainnya.
Dalam teorinya, pajak memang ditujukan untuk menciptakan keadilan sosial masyarakat.
Namun dalam prakteknya sering disalahgunakan oknum yang mempunyai wewenang dibidang tsb.
Bayangkan saja bila PBB tiap 2 tahun, naik 30 %, sedangkan PNS tidak mungkin naik gaji 30 % setiap 2 tahun. Ini khan namanya mencekik rakyat.
Mereka mengatakan : ' HARI GINI BELUM BAYAR PAJAK .... APA KATA DUNIA ? "
Saya menjawab : " ORANG PAJAK MAKAN DUIT RAKYAT ... APA KATA TUHAN ? "

pengertian pajak menurut?
Q.

A. Pajak adalah ...>> iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
1. Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
2. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
3. Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

mengapa rakyat harus dibebani pajak?
Q. Mengapa rakyat harus bayar pajak yang besarnya sangat memberatkan, bukankah negara ini memiliki bumn yang menghasilkan untung yang kalau dihitung sudah bisa untuk membackup seluruh kegiatan [pemerintah,

A. Fungsi Pajak
Sebenarnya, dari definisi pajak di atas sudah tergambarkan fungsi dari pajak yaitu untuk menyediakan barang-barang dan jasa-jasa publik. Namun demikian, dalam literatur-literatur perpajakan, dikenal dua macam fungsi pajak yaitu fungsi penerimaan (budgetair) dan fungsi mengatur (regulair).

Fungsi penerimaan adalah fungsi utama pajak. Pajak ditarik terutama untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik. Saat ini sekitar 70% APBN Indonesia dibiayai oleh pajak. Dua pajak penyumbang penerimaan terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan demikian, dua jenis pajak ini lebih memiliki fungsi penerimaan (budgetair) ketimbang fungsi mengatur.

Selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, pajak juga memiliki fungsi mengatur. Dalam fungsi ini, pajak mengarahkan perilaku sekelompok warga negara agar bertindak sesuai yang diinginkan. Contoh, agar masyarakat Indonesia mendapatkan minyak goreng yang murah, maka terhadap ekspor CPO akan dikenakan pajak ekspor yang tinggi. Contoh lain, agar masyarakat tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, maka terhadap jenis barang seperti ini dikenakan PPnBM yang tinggi. Jenis pajak yang biasanya digunakan sebagai instrumen mengatur ini adalah Pajak Ekspor, Bea Masuk dan PPnBM.

Kalau ditelusuri lebih jauh, ada satu lagi fungsi pajak yang harus kita catat. Fungsi tersebut adalah fungsi distribusi kekayaan di mana kelompok yang lebih mampu akan membayar pajak lebih banyak sementara kelompok yang kurang mampu akan mendapatkan manfaat lebih banyak dibandingkan dengan pajak yang dia bayar. Bahkan untuk kelompok tertentu, seperti penerima BLT, penerima subsidi BBM, dan penerima subsidi pupuk, mungkin dia tidak membayar pajak tapi dia mendapatkan manfaat langsung dari pajak. Dan memang karena alasan itulah adanya pajak. Saya lebih senang menyebut fungsi ini sebagai fungsi sosial pajak.
-------------------
Secara garis besar, pendapatan negara yang masuk ke dalam Baitul Mal di kelompokkan menjadi 5 sumber:

Pertama: Dari Pengelolaan Negara atas Kepemilikan Umum.
Benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
1. Fasilitas umum. Fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum; jika tidak ada dalam suatu negeri atau suatu komunitas akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketa-an. Contoh: air, padang rumput, api (energi), dll.
2. Barang tambang dalam jumlah sangat besar. Barang tambang dalam jumlah sangat besar termasuk milik umum dan haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga, dll.
3. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya.
Potensi Indonesia untuk pendapatan negara yang berasal dari kepemilikan umum bisa dilihat dari sebagian sumber-sumber di bawah ini:

Potensi tambang.

Potensi Laut Indonesia.

Potensi Hutan dan Perkebunan.


Dari Harta Milik Negara dan BUMN.

Jenis pendapatan kedua adalah pemanfaatan harta milik negara dan BUMN. Harta milik negara adalah harta yang bukan milik individu tetapi juga bukan milik umum. Contoh: gedung-gedung pemerintah, kendaraan-kendaraan pemerintah, serta aktiva tetap lainnya. Adapun BUMN bisa merupakan harta milik umum kalau produk/bahan bakunya merupakan milik umum seperti hasil tambang, hasil hutan, emas, dan lain-lain; bisa juga badan usaha yang produknya bukan merupakan milik umum seperti Telkom dan Indosat.

Sebagai gambaran, Pemerintah saat ini memiliki BUMN sekitar 160 buah. Jumlah BUMN yang meraih laba pada tahun 2003 mencapai 103 perusahaan dengan total laba bersih Rp 25.6 triliun. Akan tetapi, 69 persen dari total laba bersih tersebut disumbangkan oleh 10 BUMN saja. Kebanyakan BUMN sudah go public sehingga sebagian besar laba tersebut tidak masuk ke Pemerintah, tetapi ke pemegang saham swasta. Di sisi lain, terdapat 47 BUMN yang merugi pada tahun 2003 dengan total kerugian Rp 6.08 triliun. Sebanyak 84.4 persen dari total kerugian BUMN (Rp 5.13 triliun) hanya diakibatkan oleh 10 BUMN.

Kondisi BUMN yang meraup laba maupun yang mengalami kerugian sebenarnya belum memberikan konstribusi yang optimal kepada negara dan rakyat. Ini disebabkan: Pertama, masih banyak terjadinya inefesiensi dalam pengelolaan perusahaan, baik dari proses produksi maupun sistem penggajian. Misal: banyak karyawan asing yang tersebar di berbagai BUMN; mereka dibayar antara puluhan hingga ratusan kali lipat dibandingkan dengan tenaga lokal meskipun dengan pekerjaan yang sama. Padahal gaji karyawan BUMN untuk karyawan lokal juga sangat tinggi dibandingkan dengan gaji PNS. Karyawan baru BUMN menerima gaji sekitar 3.000.000, sedangkan gaji direksi ada yang sampai ratusan juta rupiah. Kedua, BUMN sering dijadikan sapi perahaan, baik untuk kepentingan pribadi, kelompok tertentu, maupun pa

apa 4 tahap penyelesaian kasus pajak?
Q. tolong gan tqu

A. maksudnya kasus pajak ini gmn gan?
penggelapan pajak? pemerasan pajak? pemeriksaan pajak? atau sengketa pajak?

Dalam banyak kasus pemenuhan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak..sering terjadi perdebatan antara wajib pajak (WP) dgn petugas pajak (fiskus)...
Perdebatan itu biasanya dimulai pada saat fiskus melakukan himbauan dan konseling pada WP...

Apabila saat konseling tersebut tetep tidak terjadi kesepahaman yg sama...maka case tersebut biasanya dilanjutkan dgn pemeriksaan pajak...

Atas hasil pemeriksaan tersebut pemeriksa menyampaikan pemberitahuan hasil pemeriksaan pajak kepada WP...
dan apabila WP masih belum sependapat, maka WP berhak melakukan sanggahan2 atas pemberitahuan tsb....
Apabila sanggahan tersebut diterima oleh fiskus..maka beberapa temuan yg dipermasalahkan akan dilakukan penyesuaian...sehingga permasalahan selesai....
Akan tetapi apabila sanggahan tersebut dianggap tidak memadai oleh fiskus..maka fiskus menolak sanggahan tsb dan mengeluarkan ketetapan pajak yg merupakan produk hukum atas tahun pajak yg diperiksa tersebut....
Dan apabila WP masih tidak setuju atas hasil ketetapan pajak tersebut...maka saat itu secara hukum terjadi sengketa pajak antara WP dgn fiskus...

sengketa pajak itu dapat diselesaikan oleh WP melalui proses keberatan sebagai tahapan pertama atas ketetapan pajak yg diterbitkan oleh fiskus....dan kalau tidak berhasil WP dapat melakukan upaya banding di Pengadilan Pajak atas keputusan keberatan tsb...
Dan apabila masih tidak puas,,,maka upaya terakhir WP dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas keputusan Banding Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung (MA)...

gimana dg hukum pajak dalam islam?
Q. kalo qt gak bayar pajak, gak dosa kan
@La, kalo itu sh bukan pajak... tp termasuk jual beli

A. Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang jamaânya adalah adh-Dharaib. Ulama â ulama dahulu menyebutnya juga dengan al Maks. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atauadh-dharibah diantaranya adalah :

a. al-Jizyah ( upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam )
b. al-Kharaj( pajak bumi yang dimiliki oleh Negara )
c. al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam)

Pendapat Ulama Tentang Pajak
Kalau kita perhatikan istilah-istilah di atas, kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya.

Pendapat Pertama : menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :

ÙÙÙÙس٠ÙÙ٠اÙÙÙÙاÙÙ Ø­ÙÙÙ٠سÙÙÙ٠اÙزÙÙÙÙاةÙ

âTidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. â ( HR Ibnu Majah, no 1779, meskipun di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dhaâif hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )

Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang zhalim dan semena-mena, diantaranya adalah :

Pertama : Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :

â Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni.â ( HR Muslim, no: 3208 )

Kedua : Hadist Uqbah bin âAmir, berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda :

ÙÙا ÙÙدÙØ®ÙÙ٠اÙÙجÙÙÙÙة٠صÙاحÙب٠ÙÙÙÙسÙ

â Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).â ( HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishahihkan oleh Imam al Hakim ) .

Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Maratib al Ijmaâ, Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir âan Iqtirafi al Kabair, Syaikh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Raudah an-Nadiyah, Syaikh Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Maâbud dan lain-lainnya

Pendapat Kedua : menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam al Juwaini di Ghiyats al Umam hlm : 267, Imam Ghazali di dalam al-Mustasyfa : 1/303, Imam Syatibi di dalam al Iâtishom : 2/ 619.




Powered by Yahoo! Answers

No comments:

Post a Comment